Selasa, 25 Juni 2013

Mengenal Jepa Kuliner Khas Mandar

 Dikutip dari -

Blog Budaya Dan Wisata Mandar

=> http://tommuanemandaronline.blogspot.com/2013/06/jepa-gaya-pizza-ala-suku-mandar.html

Jepa, Gaya Pizza Ala Suku Mandar

Penulis : admin on Wednesday, 5 June 2013 | 14:55

Ingin menikmati gaya Italia di jazirah Tipalayo Sulawesi Barat mengapa anda tidak mencoba kuliner "Jepa" gaya pizza ala suku Mandar. Generasi muda Mandar kadang berkelakar dan membuat candaan bahwa Jepa memiliki kesamaan dengan Pizza. Entah mengapa seperti itu? mungkin salah satu upaya untuk memperkenalkan Jepa. Dari bentuk mungkin saja mirip tapi dari bahan utama, sangat berbeda Pizza menggunakan bahan dasar tepung sementara Jepa memakai ubi kayu atau singkong sebagai bahan pokoknya. 
Jepa Mandar
Jepa, kuliner Mandar yang terbuat dari bahan ubi kayu/singkong yang diparut dan diperas airnya
Photo Credit : Pusvawirna Natalia Mauchtar
Jepa, orang-orang dari suku Mandar biasa menyebutnya, kuliner populer sekelas "Bau Peapi " yang dikenal luas di masyarakat Sulawesi Barat dan menjadi salah satu ciri khas daerah ini. Ketika orang menyebut kata "Jepa" maka orang-orang akan menganalogikan ini dengan Mandar dan Sulawesi Barat, singkatnya ia telah menjadi maskot kuliner sudah sejak lama.
Jepa adalah makanan tradisional yang terbuat dari singkong atau ubi yang diparut terlebih dahulu kemudian diperas untuk menghilangkan kadar airnya dan kemudian diayak dan dicampurkan dengan parutan buah kelapa untuk memberinya rasa gurih dan nikmat. 
Jepa dapat dijadikan sebagai bahan makanan pokok, pengganti nasi karena kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi, seperti yang selalu dijadikan bahan logistik oleh para nelayan Mandar saat melaut, dimana di laut lepas mereka membutuhkan bahan makanan yang dapat disajikan dengan cepat sebagai pengganti nasi. Pada beberapa orang yang telah berumur dan mengidap penyakit sistemik seperti Diabetes Melitus maka Jepa dapat dijadikan bahan makanan non nasi yang dikonsumsi saat makan siang dan makan malam. Kandungan karbohidratnya kurang lebih sama dengan yang dikandung oleh nasi. 
Untuk jenis-jenis Jepa anda dapat menemukannya dalam berbagai macam modifikasi, pengggolongan jenis Jepa adalah berdasarkan bahan pembuatnya, misalnya saja : 1. Jepa Katong, yaitu jepa yang terbuat dari katong atau sagu 2. Jepa Golla Mamea, yaitu jepa yang memiliki campuran gula merah atau gula aren di dalamnya 3. Jepa-Jepa, yaitu jepa dengan ukuran yang lebih kecil (bahan logistik utama nelayan Mandar saat melaut) yang dibuat dengan membuat permukaan jepa agak tipis lalu kemudian dijemur, setelah dijemur ia kemudian dihancurkan, lalu untuk proses penyajiannya bisa dicampurkan dengan gula aren atau dengan potongan daging kelapa muda.
Membuat bahan utama jepa sederhananya adalah dengan terlebih dahulu memarut ubi kayu atau singkong, lalu kemudian hasil parutan tersebut diperas untuk dikeluarkan kandungan airnya. Ampas yang tertinggal lah (berwarna putih) yang menjadi bahan utama pembuatan Jepa. Ini yang lalu di campur dengan bahan-bahan lain untuk melengkapi bahan utamanya misalnya dengan menambahkan parutan kelapa, atau gula merah (gula aren). Untuk jepa yang seperti biasanya, tanpa campuran apa-apa bahan utama ini kemudian ditaburkan diatas piring berbentuk bundar dari tanah liat dan dipanaskan diatas tungku. Wanita Mandar biasa menggunakan tungku yang terbuat dari tanah liat untuk memanaskan Jepa. 
Untuk membuat kuliner Mandar yang lezat ini kaum wanita atau ibu-ibu biasa membuatnya dengan alat yang disebut dengan nama "Panjepangang" dengan bentuk seperti piring namun dengan permukaan yang halus terbuat dari tanah liat. Membuat Jepa membutuhkan keterampilan dalam menuang bahan baku diatas panjepangang dengan gerakan yang agak cepat dan terukur, jika terlalu lama memanggangnya maka permukaan jepa akan terlihat hitam, cukup dengan membuatnya berwarna coklat keemasan maka Jepa tersebut sudah bisa diangkat.
Menyinggung soal nilai gizi Jepa, sepertinya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap hal ini. Proses pengolahannya yang sedemikian rupa mungkin saja akan mengurangi beberapa kandungan gizi didalamnya. Belum lagi metode pengolahan yang lama seperti misalnya dengan pengeringan. Namun sejak dulu kuliner ini telah menggantikan fungsi beras atau nasi sebagai karbohidrat yang notabene digunakan sebagai sumber energi untuk tubuh. Sejatinya Jepa telah lama berfungsi sebagai sumber karbohidrat efisien yang mudah dibuat.
Dalam hal penyajian, Jepa akan sangat tepat jika dipadukan dengan "Tui-Tuing Tapa" atau ikan terbang yang diasapi, ini adalah kombinasi makanan pokok dan lauk yang sngat lezat. Atau jika anda menemukanJepa dan "Bau Peapi" ikan masak Mandar dalam waktu bersamaan maka sebaiknya anda menggabungkan antara keduanya. Rasa gurih Jepa dan aroma khas Bau Peapi bisa membuat anda ketagihan.
Referensi : 

Mandar

untuk Nusantara

Mengenal Jepa

Jepa terbuat dari ampas ubi kayu. Dibakar atau dipanggang dengan menggunakan dua piring yang terbuat dari tanah liat
Jepa terbuat dari ampas ubi kayu. Dibakar atau dipanggang dengan menggunakan dua piring yang terbuat dari tanah liat

Luas daerah penyebaran posasiq Mandar tidak hanya didasarkan pada keberanian dan kemampuan di dalam menaklukkan lingkungan laut yang cukup ganas serta kekuatan perahu yang mereka gunakan untuk berlayar di lautan luas menuju lokasi tujuan yang cukup jauh. Semuanya itu tidak akan berguna apabila tidak didukung oleh logistik (bekal makanan) dalam pelayaran mereka. Kondisi laut telah menjadikan setiap nelayan akan terisolasi atau terbatas untuk memperoleh bahan makanan, tidak seperti di darat. Dari hal tersebut, nelayan Mandar atau pelaut pada umumnya, mempunyai ciri khas tersendiri untuk memecahkan permasalahan logistik di pelayaran yang memakan waktu berhari-hari bahkan berbulan-bulan.
Masalah yang umum dihadapi pada semua pelayaran di laut (tradisional) adalah bahan bakar yang terbatas dan pengaruh luas perahu yang umumnya kecil serta ombak laut sangat berpengaruh pada kemudahan untuk melakukan aktivitas masak-memasak. Keadaan yang demikian ‘memaksa’ nelayan untuk membawa bekal makanan yang tidak terlalu boros bahan bakar atau sama sekali tidak menggunakannya dan mudah untuk memprosesnya. Konsekuensi dari hal itu adalah logistik yang mereka bawa ‘tidak sebaik’ dengan makanan di darat, baik dalam hal kesegaran maupun dalam hal gizi.
Logistik yang terkenal di kalangan posasiq Mandar dan selalu mereka bawa untuk mengarungi lautan luas selama berhari-hari adalah jepa-jepa. Jepa-jepa adalah makanan yang berbahan dasar ubi kayu. Logistik ini dibawa dalam keadaan kering disimpan dalam wadah daun pisang, karung atau kaleng. Merubah bahan mentah jepa-jepa menjadi makanan cukup mudah dan sangat singkat, jepa-jepa hanya dibasahi air secukupnya. Air yang digunakan tergantung kondisi yang ada, jika ada air panas akan lebih baik, air laut pun sudah mencukupi bila dalam keadaan darurat.
Untuk menutupi kurangnya gizi yang dikandung jepa-jepa, nelayan mencampur dengan gula merah dan parutan kelapa, atau dengan ikan. Kelebihan yang dimiliki jepa-jepa adalah tahan lama, bisa sampai berbulan-bulan atau sampai dua tahun bila selalu dikeringkan/dijemur di panas matahari; nilai karbohidratnya cukup tinggi; mudah diperoleh/harganya murah karena produksi lokal (ada pula nelayan yang membuat sendiri); dan mudah memprosesnya menjadi makanan siap saji (efisien). Walaupun demikian, nelayan juga membawa beras sebagai logistik utama tetapi tidak banyak. Perbandingan antara jepa-jepa dengan beras yang dibawa nelayan rata-rata 75 % untuk jepa-jepa dan 25 % untuk nasi.
Perbandingan menjadi terbalik setelah beras semakin mudah diperoleh dan harganya tidak terlalu beda jauh dengan jepa-jepa. Faktor lain adalah kebiasaan juga sangat berpengaruh, khususnya bagi nelayan muda, yang tidak terbiasa mengkonsumsinya, dan penggunaan mesin yang berpengaruh pada lama tinggal di laut. Jadi sekarang ini, di kalangan nelayan atau pelaut Mandar, jepa-jepa hanyalah sebagai makanan sampingan, khususnya yang melakukan perjalan jauh dan lama tinggal di laut. Adapun yang hanya tiga sampai sepuluh hari di laut bahan pangan untuk pemenuhan karbohidrat adalah beras. Bukan hanya nelayan yang tinggal/bermalam di laut yang biasa membawa jepa-jepa, nelayan yang berangkat pagi pulang sore juga membawa jepa-jepa sebagai logistik, baik utama maupun sebagai pendukung.
Ada cerita/anekdot menarik di kalangan nelayan yang menggambarkan begitu efisiennya jepa-jepa sebagai logistik nelayan. Pernah ada lomba mendayung antara nelayan Mandar dengan nelayan daerah lain dengan menggunakan lepa-lepa yang jalur lintasan menempuh jarak yang jauh dan dilakukan selama berhari-hari. Singkat cerita, pemenang dari lomba tersebut adalah nelayan Mandar Hal itu disebabkan dia membawa jepa-jepa sebagai bekalnya, yang mana pembuatannya dapat dilakukan sambil terus-menerus mendayung. Sedangkan nelayan lain bekalnya adalah makanan yang harus dimasak terlebih dahulu.
Sebenarnya jepa-jepa adalah varian dari jepa (hanya satu kata). Jepa dibuat dari ubi kayu parut yang airnya telah dibuang, sebab bersifat racun. Jadi, bisa dikatakan bahwa ampaslah yang diolah. Untuk membuang cairan di ubi kayu, prosesnya sebagai berikut: ubi dikupas untuk kemudian diparut dengan cara manual. Kadang juga pakai mesin. Tapi kalau manual, parutannya lebih halus.
Hasil parutan dimasukan ke dalam kain untuk kemudian dibungkus. Bungkusan lalu diperas dengan cara menjepitnya di penjepit raksasa yang terbuat dari kayu. Istilahnya “pangepeq”. Ditekan sedemikian rupa, bisa dengan duduk di atas atau memberi beban berupa batu-batu besar. Ditekan agak lama sampai tak ada lagi cairan yang menetes. Selanjutnya, bungkusan dibuka untuk menguraikan ampas. Setelah terurai dengan baik, dicampur dengan kelapa yang telah diparut. Bahan tersebut kemudian dipanggang dengan menggunaka dua piring batu yang terbuat dari tanah liat.
Bila jepa bertujuan dikonsumsi langsung, diameternya sekitar 15-20 cm dan agak tebal. Tapi bila diolah lebih lanjut menjadi jepa-jepa, diameternya bisa lebih besar tapi agak tipis. Dibuat demikian agar mudah dijemur (digantung di penjemuran layaknya pakaian) dan dihancurkan.
Bila menyebut atau menuliskan saja “jepa”, maka itu merujuk pada jepa berbahan baku ubi kayu. Tapi kalau bahan bakunya lain, maka ada kata tambahan berdasar bahan pembuat jepa. Misalnya “jepa tarreang” bila jepa tersebut terbuat dari “tarreang” atau jawawut dan “jepa katong” bila terbuat dari sagu.

Posted on http://ridwanmandar.com/2013/01/11/mengenal-jepa/

Minggu, 23 Juni 2013

Pesta Nelayan Di Ujung Lero Berujung Maut (Dari berbagai sumber)

Minggu, 23 Juni 2013

1. Rekaman video saat kejadian di TKP  => from youtube

 

 

2. Berita Versi => TRIBUNNEWS.COM, PINRANG

Laporan Wartawan Tribun Timur, Ali dan Abdul Azis

* TRIBUNNEWS.COM, PINRANG - Satu unit kapal nelayan tenggelam di Ujung Lero, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, saat prosesi pesta nelayan dilangsungkan, Minggu (23/6/2013).
Akibatnya, dua warga setempat dinyatakan tewas dalam kecelakaan tersebut. Kedua korban diketahui bernama Nurbiah (53) dan Hamsiah (35).
Nurbiah dikabarkan tewas di lokasi kejadian, sementara Hamsiah mengembuskan nafas terakhirnya saat mendapatkan perawatan di Puskesmas Mario Na Madising Parepare. Sementara empat korban lainnya, masih menjalani perawatan intensif di Puskesmas Ujung Lero.
Kapolres Pinrang, AKBP Heri Tri Maryadi yang dikonfirmasi membenarkan adanya kejadian tersebut. Menurut Heri, Kapal Cahaya Ilahi tersebut diperkirakan terbalik, karena over kapasitas.
"Informasi sementara, kapal yang berukuran panjang 8 meter dan lebar 2 meter tersebut kelebihan penumpang, dan saat kejadian warga berkumpul di satu titik saja, akibatnya berat kapal tak seimbang, sehingga diduga terbalik," kata Heri.
Ia juga mengatakan, sementara Ahmad sang nakhoda Kapal Cahaya Ilahi, masih dimintai keterangan di polsek setempat.(ali)

* TRIBUNNEWS.COM, PINRANG - Nakhoda Kapal Cahaya Ilahi, Ahmad, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian Pinrang.
Ia dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus tewasnya dua warga Pinrang yang ikut dalam perayaan pesta nelayan yang digelar di ujung Lero Pinrang, Minggu (23/6/2013).
"Nakhodanya kami tetapkan sebagai tersangka. Karena dia yang bertanggungjawab atas kejadian tersebut," kata Kapolres Pinrang, AKBP Heri Tri Maryadi, saat dikonfirmasi via selularnya.
Sebelumnya sekitar 30 orang yang ikut menumpang di kapal yang dinakhodai Ahmad.
Warga tersebut, bermaksud memperingati pesta nelayan yang digelar dalam satu kali dalam satu tahun. Saat ini Ahmad menjalani pemeriksaan di Mapolsek Suppa.(Ali)
Baca Juga:

3. Berita Versi => Metrotvnews.com, Pinrang

Pesta Nelayan di Pinrang Berujung Maut

Laporan: Alfiansyah Anwar
Minggu, 23 Juni 2013 | 12:10 WIB

Ilustrasi-ANTARA/Dedhez Anggara/bo
Metrotvnews.com, Pinrang: Pesta nelayan di Desa Ujung Lero, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, berujung maut, Ahad (23/6). Satu orang tewas tenggelam dan satu orang dalam keadaan kritis.

Korban tewas yaitu Hamsiah (47). Sedangkan korban kritis bernama Mila (31). Kedua warga Ujung Lero itu segera dievakuasi ke Puskesmas Madising Na Mario, Parepare.

Menurut Kepala Puskesmas Madising Na Mario, Dokter Linda, satu orang telah meninggal saat tiba di Puskesmas. Sedangkan satu orang lainnya dalam kondisi lemas.

Jenazah Hamsiah kini masih disemayamkan di ruang Unit Gawat darurat (UGD) Puskesmas Madising Na Mario. Sedangkan korban kritis, dirujuk ke Rumah Sakit Andi Makkasau, Parepare.

Menurut seorang korban selamat, Marlina, peristiwa nahas itu bermula ketika puluhan kapal penangkap ikan mengangkut puluhan orang untuk menggelar ritul di tengah laut. Namun saat acara berlangsung, tiba-tiba kapal oleng dan tenggelam.

Diduga, kapal terbalik karena kelebihan muatan. Saat itu, kapal mengangkut lebih dari 20 orang. Tim SAR hingga kini masih melakukan pencarian korban di lokasi tenggelamnya kapal kayu penangkap ikan tersebut.

Editor: Kesturi Haryunani

4. Berita Versi => PINRANG,FAJAR


Sun,23 June 2013 | 16:30 

Pesta Nelayan, Dua Meninggal

 
 Ilustrasi. (int)

PINRANG,FAJAR -- Pesta nelayan di Ujung Labuan,  Kecamatan Suppa, berubah duka dengan meninggalnya dua warga, Hamsia dan Dia, masing-masing berusia diatas 30 tahun.

Keduanya meninggal karena tenggelam saat ikut menyambut pesta tersebut, Minggu 23 Juni, siang tadi.
Kandidat calon Bupati Pinrang, Ir Abdullah Rasyid, yang dihubungi via selulernya, membenarkan kejadian ini.

Mengetahui hal tersebut, Bupati Pinrang, HA Aslam Patonangi, bersama Ketua PKK Pinrang, Hj Dewiyani dan para muspida, langsung ke lokasi  melayat kedua korban.

Dua Kepala Desa yakni, Ujung Labuang dan Ujung Lero, juga membenarkan pesta nelayan yang di gelarnya atas kesyukuran melaut itu.

Sayangnya, Kapolres Pinrang, AKBP Try Hery Haryadi, yang dihubungi lewat SMS, hingga berita ini ditayangkan belum memberi keterangan. (nas)


5. Berita Versi => KOMPAS. COM

Kapal Nelayan Terbalik, 2 Tewas

  • Penulis :
  • Kontributor Pinrang, Suddin Syamsuddin
  • Minggu, 23 Juni 2013 | 13:50 WIB
Korban selamat dari kapal yang tenggelam di Pinrang sedang dirawat di Puskesmas Ujung Lero, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang | KOMPAS. Com/SUDDIN SYAMSUDDIN
 PINRANG, KOMPAS. COM — Pesta nelayan yang dilaksanakan di perairan perbatasan Kabupaten Pinrang dan Kota Parepare, Minggu (23/6/2013) pagi berujung maut. Salah satu kapal nelayan yang mengangkut 40 warga Ujung Lero, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, terbalik. Dua orang dari 40 penumpang itu tewas. Beberapa cedera dan sejumlah orang lainnya belum ditemukan.

"Dua orang tewas, yaitu Hamsia (35 tahun), dan Nurbila Lapa (35), masing-masing warga Desa Lero," kata Kapolsek Suppa, Iptu Ari Galang. 

Sarifa (45), salah seorang korban selamat yang menjalani perawatan di Puskesmas Desa Lero, menuturkan, penumpang kapal yang terbalik itu mlebihi kapasitas. "Saat itu perahu melaju dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba perahu oleng ke kiri karena penumpang lebih banyak duduknya di sebelah kiri,"  kata Sarifa.

Korban cedera yang dirawat di Puskemas Lero sebanyak 11 orang, 8 orang di antaranya dirawat intensif.

Tim SAR dan Polairut Kabupaten Pinrang kini masih melakukan pencarian terhadap beberapa korban yang dinyatakan hilang.

6. Berita Versi => DetikNews 
 
Minggu, 23/06/2013 12:19 WIB

KM Cahaya Ilahi Terbalik dalam Perayaan Adat di Pinrang, 2 Orang Tewas

Muhammad Nur Abdurrahman - detikNews
Makassar - Sebuah kapal motor tradisional, KM Cahaya Ilahi, yang mengangkut sekitar 20 penumpang terbalik dalam acara pesta adat di tengah laut di perairan Ujung Lero, Kec. Suppa, Kab. Pinrang, Sulawesi Selatan, Minggu pagi (23/6/2013). Dua penumpang dinyatakan tewas dalam peristiwa ini.

Kapolres Pinrang AKBP Hery Tri Maryadi yang dihubungi detikcom menyebutkan korban bernama Hamsiah (50) dan Nurdia (60). Untuk penyelidikan, pihaknya mengamankan kapten kapal KM Cahaya Ilahi, Ahmad.

"Kasus ini masih tahap penyelidikan, belum diketahui penyebab musibah kapal ini," kata Hery.

"Sejumlah ABK masih diperiksa oleh Polsek Suppa, kaptennya juga sudah diamankan," tambahnya.

Sementara itu, anggota Tim SAR gabungan menyisir perairan Suppa untuk mencari beberapa korban yang masih dinyatakan hilang.

Tambahan Foto dari warga Lero saat perayaan Pesta Nelayan 23 Juni 2013


Kumpulan Berita dari berbagai sumber oleh armandarsimplestudio.blogspot.com

Sabtu, 22 Juni 2013

Mengenal Sosok HABIB ALWY BIN ABDULLAH BIN SAHIL (PUANG TOWA)

Minggu, 03 Februari 2013


HABIB ALWY BIN ABDULLAH BIN SAHIL (PUANG TOWA)


A. Ringkasan Manakib Habib Alwy Bin Abdullah Bin Sahil

Habib Alwy lebih di kenal dengan sebutan Puang Towa. Habib Alwi memiliki nama lengkap Habib Alwy bin Abdullah bin Husin bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abdullah bin Sahil bin Ahmad bin Sahil bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad Jamalullail. Beliau dilahirkan di Lasem, sekitar tahun 1835 M. dan mempunyai saudara 15 orang. Ayah beliau bernama Habib Abdullah bin Sahil dan ibunya bernama Raden Ayu Habibah pati Lasem al Munawwar. Habib Alwy (Puang Sayye Towa) wafat di Campalagian pada tanggal 9 April 1934 dan di makamkan di Masjid Besar Campalagian Polewali Mandar.

 

B. Masuk di Lita’ Mandar

Berawal dari kegemaran dan keberanian orang-orang Sulawesi pada umumnya dan Sulawesi Barat (orang-orang Mandar) pada khususnya untuk berlayar dari satu daerah ke daerah lain dengan tujuan berdagadang akhirnya sampai ke daerah Nusa Tenggara Barat (Sumbawa), dimana Habib Alwy bin Sahil membina masyarakat setempat sehingga pedagang Mandar (saudagar) Mandar yang memiliki jaringan bisnis dengan daerah Sumbawa, sempat mengikuti pengajian yang dibawakan oleh Habib Alwy bin Sahil dan memperkenalkan diri serta menggambarkan kondisi keagamaan Lita’ Mandar. Berdasarkan informasi dan masukan dari saudagar Mandar tersebut, maka akhirnya Habib Alwy bin Sahil tertarik dan bersedia ikut bersama saudagar Mandar guna melanjutkan misi dakwah dan syi’ar Islam di Lita’ Mandar. 
Habib Alwy tiba di Lita’ Mandar khususnya daerah Manjopai dimana waktu itu imam pertama masjid Manjopai tersebut adalah H. Kaisah yang bergelar H. Kappung dari tahun (1859-1900). Kedatangan Habib Alwy di Manjopai disambut baik oleh masyarakat setempat yang juga sudah memeluk agama Islam. Kendati Islam masuk di Lita’ Mandar diperkirakan pada tahun 1608, pada waktu kerajaan Balanipa di perintah oleh Raja Balanipa ke IV Puatta Tummuane dan diperkuat dengan datangnya utusan dari kerajaan Gowa untuk memberlakukan hukum Islam di Balanipa (Lita’ Mandar), akan tetapi masyarakat masih banyak yang mempunyai paham-paham yang bertentangan dengan akidah dan keyakinan ajaran Islam.

C. Gerakan Dakwah pada Tiga Daerah


1. MOJOPAHIT/MANJOPAI
Habib Alwy di Manjopai, pernah diangkat oleh masyarakat setempat menjadi Imam Masjid (Imam III) sekitar tahun 1916-1921 menggantikan H. Muhammad Amin (Imam II) yang bergelar Imam Missuq. Habib Alwi selama di Manjopai memberantas paham awayang ka’daro (ilmu kekebalan). Habib Alwy bin Sahil dalam strategi dakwahnya agar mudah diterima oleh maasyarakat, maka beliau mendekati para sesepuh agama dan orang-orang terhormat (Mara’dia), orang-orang kaya, seperti beliau bersahabat dengan seorang kaya bernama Muhammad Ali, sehingga Habib Alwy bin Sahil menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat mengalami kemudahan karena didukung oleh mereka bahkan pengajian yang dipimpin oleh Habib Alwy bin Sahil biasanya dilaksanakan di rumah Muhammad Ali, masjid-masjid dan tempat-tempat yang memungkinkan dengan berbentuk halaqah dan menggunakan metode tanya jawab.

2. PAMBUSUANG
Kemudian Habib Alwy bin Sahil di Pambusuang juga diterima baik dengan masyarakat Pambusuang dan bersama-sama dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama (‘alim ulama) untuk membangun Masjid sebagai sarana beribadah kepada Allah SWT. Sekaligus tempat belajar ilmu keislaman. Habib Alwy terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan sosial keagamaan. Sistem pengajaran yang beliau kembangkan di Pambusuang adalah bentuk halaqah baik di Masjid-masjid maupun dari rumah ke rumah serta masyarakat yang langsung datang menghadap kepada Habib Alwy bin Sahil untuk menanyakan seputar ajaran Islam.
3. CAMPALAGIAN
Di Campalagian, beliau telibat urusan kemasyarakatan dan keagamaan bersama masyarakat para ulama dan pemerintahan membangun masjid dan memberikan pelajaran keagamaan kepada masyarakat. Ulama yang hidup semasa dengannya seperti KH. Abdul Hamid, K.H. Muhammad Arsyad Maddapungan. Habib Alwy bersama para ulama dan kepala kampung (Mara’dia) memberikan perhatian serius terhadap pengembangan agama. Keberadaan Habib Alwy lebih memperluas syiar Islam, serta membasmi segala persembahan berhala bagi rakyat, yang masih fanatik kepada faham yang mirip pada agama Hindu, yang dianut dan dikembangkan oleh “Sawerigading”.

Pada saat itu, kemajuan agama Islam di daerah Campalagian telah meningkat, sehingga Surau-surau (langgar) tadi itu, mulai dibongkar dan dijadikan dan diubah menjadi masjid, yang dipolopori oleh Habib Alwy bin Sahil tersebut bersama-sama Khadi Abdul Hamid dengan seorang yang berpengaruh bernama KARRU DAENNA PETTI yang pernah juga menjabat pangkat Mara’dia Campalagian.

Dalam dakwahnya sering ditemani oleh Muhammad Thahir (Imam Lapeo). Habib Alwy merupakan guru dari Imam Lapeo. Pernah suatu ketika Habib Alwy bin Sahil mengajak beberapa orang termasuk Imam Lapeo untuk berhalwat atau bertapa di suatu tempat, dan dari sekian banyak orang itu, Imam Lapeo satu-satunya yang dapat bertahan menerima cobaan-cobaan yang muncul pada saat berhalwat dan Habib Alwy bin Sahil berkata kepadanya bahwa anda telah lulus dan saya dengan anda bersaudara dunia akhirat. Ungkapan kedua tokoh agama ini tidak hanya berlaku pada keduanya tapi sampai kepada anak cucu dan keturunannya masih tetap terjalin persaudaraan dan silaturrrahmi dengan baik.

Haul Habib Alwi bin Abdullah bin Sahil. Sabtu : 02 Juli 2011

  - => Minggu, 03 Februari 2013

Mengenal Sosok dan silsilah HABIB HASAN BIN ALWY BIN SAHIL (PUANG LERO)

Minggu, 03 Februari 2013


HABIB HASAN BIN ALWY BIN SAHIL (PUANG LERO)


Habib Hasan bin Alwi bin Sahil (Puang Lero) adalah putra daripada Habib Alwi bin Abdullah bin Sahil (Puang Towa). Ibunda beliau bernama Rabiah anak dari K.H. Toa. Habib Hasan lahir di Pambusuang - Sulawesi Barat. Habib Hasan adalah Waliyullah yang digelar Puang Lero, kamus berjalan (kamus lamba-lamba), tapi gelarannya yang paling populer dikalangan ulama adalah Sultanul Ulama. Beliau adalah guru pengajian paham kajian ilmu tauhid, kitab kuning, nahwu arab, pakar fiqhi, dan menguasai lebih dari 20 macam bahasa arab dan arsitek. Beliau pernah menuntut ilmu di Mekah hampir 30 tahun dan pernah menjabat guru besar nahwu arab di Yaman - Hadramaut Negara sejuta Wali dan penulis doa-doa, wirid dan kitab/kitta' ukiran Serang. Salah satu gurunya di Mekah adalah Mukti Syafi'i Al-Allamah Alhabib Said Mekah Al-Yamani (Ayahanda Hasan Yamani Campalagian). Habib Hasan pernah menjabat Imam Mesjid Jami At-Taqwa Pambusuang (1934-1944), kemudian hijrah ke
Ujung Lero karena saat itu keadaan Mandar berkecamuk tidak aman, dan melanjutkan pembangunan Mesjid di Lero dan memberi nama Mesjid Jami Al-Muhajirin Ujung Lero. Habib Hasan pernah menjadi penasehat dan pendiri MAI (Madrasah Arabiyah Islamiyah) tahun 1935 di Pambusuang. Habib Hasan mempelajari banyak tarekat tapi menonjol dalam tarekat Uluwiyah. Dalam riwayat lapisan pertamanya di Tanah Bugis yaitu; K.H. Ambo Dalle, Andi Selle, Panglima Jenderal Yusuf Bone Kayimuddin, Annangguru Ba'dollah (Imam Lero), Annangguru Yusuf (Imam Lero), dan Annangguru Abbas (Abba) dan masih banyak lagi yang tidak sempat disebutkan namanya. Habib Hasan wafat dan dimaqamkan di Ujung Lero - Sulawesi Selatan, bulan Ramadhan 1973. Habib Hasan adalah cucu Tosalama K.H. Toa Pambusuang. Habib Hasan adalah Ulama Besar dan Ulama Terhormat r.a. Habib Hasan menikah dengan Hj. Faidah, Kamariah, Hafsah, Hj. Syafiah dan Rahidah, semua berketurunan. Dan dari pernikahan beliau dari istri-istrinya, Habib Hasan dikaruniai 29 orang anak.

Keluarga: Istri dan anak dari Habib Hasan Bin Sahil (PUANG LERO)

1. Hj. FAIDAH (dari pernikahannya telah dikaruniai 10 orang anak)
  • Habib Muhammad Bin Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Aminah Binti Hasan Bin Sahil
  • Habib Sahil Bin Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Alawiah Binti Hasan Bin Sahil
  • Habib Abdurrahman Bin Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Azzah Binti Hasan Bin Sahil
  • Habib Hamzah Bin Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Husnah Binti Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Buddur Binti Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Fatimah Binti Hasan Bin Sahil

2.  KAMARIAH (dari pernikahannya telah dikaruniai 3 orang anak)
  • Habib Abdullah Bin Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Syeha Binti Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Maryam Binti Hasan Bin Sahil

3.  HAFSAH (dari pernikahannya telah dikaruniai 5 orang anak)
  • Habib Fahruddin Bin Hasan Bin Sahil
  • Habib Abu Bakar Bin Hasan Bin Sahil
  • Habib Baqir Bin Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Azizah Binti Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Hural Aini Binti Hasan Bin Sahil

4.  Hj. SYAFIAH (dari pernikahannya telah dikaruniai 6 orang anak)
  • Habib Habibun Bin Hasan Bin Sahil
  • Habib Abu Alamah Bin Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Hababah Binti Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Asiah Binti Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Zahrah Binti Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Nuaimah Binti Hasan Bin Sahil

5.  RAHIDAH (dari pernikahannya telah dikaruniai 5 orang anak)
  • Habib Alwi Bin Hasan Bin Sahil
  • Habib Siddiq Bin Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Najibah Binti Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Kalsum Binti Hasan Bin Sahil
  • Syarifah Maimunah Binti Hasan Bin Sahil

****************************************************
- Minggu, 03 Februari 2013

Kamis, 20 Juni 2013

Sandeq Mandar Wakili Indonesia di Festival Brest, Prancis

Perahu Sandeq Mandar Wakili Indonesia di Festival Brest, Prancis




KABARKAMI. Perahu Nelayan Putih nan ramping, Sandeq dari Mandar, Sulawesi Barat dipilih untuk mewakili Indonesia di ajang Tonnerres Les spektakuler de Brest Festival 2012 di Bretagne, Prancis. 12 orang pelayar perahu Sandeq bergabung dengan 2500 kapal layar dari seluruh dunia yang diselenggarakan pada tanggal 13-19 Juli 2012. Indonesia adalah salah satu dari lima negara khusus yang diundang dalam perhelatan maritim spektakuler  ini, Negara-negara itu adalah Meksiko, Rusia, Norwegia, Maroko dan Indonesia.
Festival Maritim Brest merupakan perhelatan even maritim terbesar yang diselenggarakan setiap empat tahun di kota yang terkenal dengan pelabuhan militer dan gudang senjatanya ini. Festival Brest mengundang segala macam kerajinan dari armada tradisional, kapal besar dan yacht modern dari seluruh dunia.
Perahu Sandeq merupakan perahu kebanggaan masyarakat mandar, Sulawesi Barat dan menjadi warisan budaya leluhur mereka. Para pelabuh Sandeq terkenal di dunia dengan kegesitan dan kecepatan mereka mengendalikan perahu yang rata-rata memilki panjang 13 meter, lebar 80 cm lebar dan tinggi 1 meter. Nelayan Mandar dari Sulawesi Barat menggunakan perahu ini untuk berburu ikan tuna di Selat Makassar dalam. Dalam cuaca yang baik, perahu ini dapat meluncur dengan kecepatan 40 kilometer per jam. Setiap tahun perlombaan Sandeq diselenggarakan dari Mamuju di Sulawesi Barat ke Makassar, ibukota Sulawesi Selatan, yang berjarak 300 mil laut dengan waktu tempuh 10 hari.
Adalah seorang bernama Paskal Chelet-Roux, salah satu anggota Komite yang sangat tertarik dengan fitur perahu Sandeq ini ketika ia mengunjungi Mandar tahun lalu dan ia menyatakan bahwa Sandeq merupakan warisan maritim Asia di Brest. Dia kagum bagaimana para nelayan Mandar terus mempertahankan warisan budaya mereka. Dari Paskal inilah, Sandeq menjadi salah satu fitur maritim Indonesia yang diperioritaskan untuk mewakili Indonesia dalam festival Brest, Perancis.

Rabu, 19 Juni 2013

Ujung Lero Pesona Keindahan Yang Tersembunyi

Melirik Keindahan Ujung Lero

Perahu mengangkut penumpang dan barang dari bibir Pantai Parepare menuju Ujung Lero, Kab. Pinrang, beberapa waktu lalu.


Melirik Keindahan Ujung Lero

Ujung Lero adalah daerah yang masuk wilayah pemerintahan Kabupaten Pinrang yang terletak di Kecamatan Suppa. Salah satu jalur transportasi menuju desa tersebut adalah dengan menggunakan jalur laut yang dapat ditempuh sekitar 10-15 menit dari Kota Parepare. Ujung Lero memiliki keindahan alam. Hamparan sawah dan jejeran pohon kelapa dapat kita saksikan.

Ujung Lero dihuni oleh dua suku, yaitu Mandar dan Bugis. Namun, kebanyakan warganya adalah suku mandar. Penduduk setempat sangatlah ramah. Sebagian besar warganya hidup sebagai nelayan dan mayoritas hidup di bawah garis kemiskinan. Selain mengandalkan hidup dari hasil laut, sebagian mereka juga menjadi pedagang dan penenung sutra.

Ujung Lero dengan segala keindahan dan keramahan penduduknya, sungguh adalah pesona yang tersembunyi.

http://bingkailensa.blogspot.com/2010/10/melirik-keindahan-ujung-lero.html 


Berkunjung Ke Pantai Ujung Lero

Rabu, 14 September 2011 12:24
 
GriyaWisata.Com-Pantai Ujung Lero berada di Ujung Lero merupakan daerah yang masuk pada wilayah pemerintahan Kabupaten Pinrang. Untuk mencapainya, kita dapat menempuh jalur laut dan jalur darat.
Jika melalui jalur laut, waktu yang ditempuh sekitar 10-15 menit, berbeda dengan jalur darat yang membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit. Jalan menuju desa Ujung lero tidaklah sulit.



Berangkat dari Kota Parepare kita hanya mengikuti jalan menuju Kota Pinrang lalu berbelok kiri memasuki daerah Suppa. Setelah daerah Suppa, kita akan menemukan pertigaan.

Untuk menuju Desa Ujung Lero, kita berbelok ke arah kanan, kemudian mengikuti jalan tersebut hingga mendapatkan penunjuk arah yang ada di sebelah kiri yang menunjukkan arah ke Ujung lero. Jarak antara pertigaan Suppa dan penunjuk arah, kurang lebih 18 km.[serli]

http://www.griyawisata.com/artikel.php?sec=6&cat=52&postid=26494

Mesjid AL-Muhajirin Ujung Lero Mesjid Yang kokoh

TEMPO.CO, Pinrang - Secara teori arsitektur, rasanya mustahil bangunan ini bisa berdiri selama 55 tahun. Tapi fakta membuktikannya.

Bangunan utama Masjid Al Muhajirin yang terletak di Desa Ujung Lero, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan, bergaya arsitektur Timur Tengah ini tidak menggunakan sedikit pun besi sebagai rangka bangunan.

Ketua pembangunan Masjid Al-Muhajirin, Andi Patarai Nuur, 65 tahun, mengatakan sejak dibangun tahun 1957 masjid ini tidak menggunakan sebatang besi sebagai rangkanya, termasuk lantai dua sebagai tempat bertenggernya 25 menara.

"Sedikit pun tidak ada besi yang menjadi bagian utama bangunan ini," katanya kepada Tempo, Senin, 23 Juli 2012. Patarai yang mengaku terlibat langsung dalam pembangunan masjid tersebut mengatakan tempat ibadah itu dibangun oleh K.H. Sayyed Hasan Alwi.

Awalnya lokasi tersebut merupakan tempat masjid yang berukuran kecil. Namun setelah K.H. Sayyed Hasan alwi kembali ke Ujung Lero, setelah 10 tahun bermukim di Madinah, ia pun merombak masjid tersebut dengan berukuran 50 x 40 meter di atas lokasi 1 hektare.

Masjid itu dan mampu menampung 1.500 jemaah dan sejak dibangun belum pernah dipugar.

Menurut Patarai, bangunan pada masjid ini, termasuk bagian kubah yang bertengger di atas lantai dua, hanya terdiri dari susunan batu bata, tanpa semen dan besi sebagai tulang. Batu bata itu disusun di atas bilahan bambu.

Setelah kering, bambu tipis itu kemudian dilepas. "Hanya, bata yang telah dilangkahi atau dikencingi anjing tidak dipasang pada bagian masjid tersebut," kata Patarai.

Saat gempa bumi melanda daerah Pinrang tahun 1990-an, bangunan ini tetap kokoh. Padahal ada beberapa gedung di Kota Pinrang yang runtuh akibat guncangan gempa.

Seorang arsitek Jepang, kata dia, pernah mengunjungi masjid ini. Setelah melihat-lihat, ia tak percaya karena dianggap bertentangan dengan teori konstruksi bangunan.

Arsitek itu kemudian memprediksi 5 tahun yang akan datang masjid ini akan runtuh. "Tapi hingga 12 tahun setelah diprediksi, masjid ini tetap kokoh," ujarnya.

SUARDI GATTANG

Senin, 17 Juni 2013

Zaman Sejarah Mandar

Tampil : 473 kali.

Zaman Sejarah Mandar

CetakPDF
Dalam sejarah perkembangan di Mandar, dibagi atas 2 (dua) zaman ,yaitu Zaman pra-sejarah dan Zaman sejarah. Zaman pra-sejarah adalah zaman ketika belum di temukan bukti-bukti tertulis, catatan-catatan dan sebagainya. Zaman ini meliputi Zaman batu tua, Zaman batu pertengahan dan Zaman batu baru.

Adapun Zaman Sejarah adalah zaman yang bukti-bukti tertulis sudah di temukan oleh para peneliti ataupun oleh para sejarawan dan budayawan. Zaman sejarah ini dibagi ke dalam beberapa zaman seiring dengan waktu yang dilaluinya, sehingga dalam penulisan ini disebut 6 (enam) zaman, yaitu:
- Zaman Prasejarah dan Zaman Sejarah,
- Zaman Tomakaka,
- Zaman Mara’dia,
- Zaman Penjajahan,
- Zaman perjuangan merebut kemerdekaan,
- dan Zaman sekarang,

Zaman sekarang ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk memberikan pemahaman kepada generasi selanjutnya sebagai zaman yang akan datang .
Pada bulan Mei 1933 diadakan penggalian oleh A.A.Cense di daerah Sampaga tepatnya di lembah sungai Karama, Kabupaten Mamuju dan menemukan beberapa peralatan pra-sejarah yaitu batu dan gerabah. Kegiatan tersebut kemudian di lanjutkan oleh PV Van Callenfels dengan menggali di bagian timur bukit Kamassi, dan menemukan alat-alat berupa: Pisau, kapak batu, kapak batu segi empat, mata panah yang halus, dan pecahan-pecahan tembikar yang berdekorasi. Penggalian tersebut di laksanakan pada tanggal Z5 September 1933 sampai 17 Oktober 1933.

Penggalian kedua di lakukan oleh Dr. HR. Van Hee Karem dari tanggal 23 Agustus sampai September 1949 di bagian selatan puncak kamasi, 13 meter di atas permukaan sungai. Penggalian itu menemukan alat-alat batu, seperti kapak batu yang ada kesamaannya dengan alat Neolithic di Luzon (philipina), Manchuria (Mongolia), Hongkong dan sebagainya. Juga di temukan gerabah yang berhias. Gerabah yang berhias di nilai oleh para arkeolog mempunyai corak yang tinggi dengan desain halus memberikan pertanda bahwa kebudayaan di daerah Kalumpang di kembangkan oleh masyarakat yang telah teratur sifatnya. Kebudayaan yang terlingkup dalam satu wilayah Sa Huynh Kalanay, yaitu wilayah yang meliputi daerah Cina, Philipina, Vietnam dan beberapa daerah di kawasan pasifik.

Di daerah Sampaga atau kurang lebih 10 km dari muara sungai Karama, masuk ke pedalaman Sekendeng, Amiruddin Maulana ,tokoh pendidik di Kabupaten Majene, menemukan patung Budha perunggu. Oleh Dr.FDK Bosch, setelah membandingkan patung-patung Budha yang ada di Jawa tengah (Borobudur), Palembang, patung Hindu Jawa,dan Hindu Sumatera, memberikan kesimpulan bahwa gaya patung tersebut mempunyai ciri khas tersendiri. Setelah membandingkan dengan patung Budha dari Sholok, Jambi, kota bangun, Kalimantan barat, Gunung lawu, Jawa tengah, Bosch juga menyimpulkan bahwa palung yang di temukan tersebut tidak mempunyai kesamaan.

Oleh karena tidak ada kesamaan yang dapat di temukan di Indonesia, maka perbandingan dengan patung-patung Budha yang ada di India, Muka dan Gandara, di lakukan. Dan kesimpulannya adalah bahwa patung tersebut di pengaruhi oleh gaya Budha Greeco di mana gaya ini juga terdapat di India Selatan, tepatnya aliran kesenian Amarawati. Aliran ini sangat besar pengaruhnya ke kawasan Asia Tenggara pada abad 2-7 M.

Dikuatkan dengan penemuan berbagai kecek perunggu, kancing yang di gunakan sebagai pengusir roh-roh jahat bagi dukun sewaktu upacara kelahiran bayi memperlihatkan juga adanya kesamaan dengan genta-genta perunggu dari India selatan. Dari sejarah India selatan telah di ketahui bahwa Dinasti Catawahana dalam memerintah terkenal sebagai penganut kuat agama Budha aliran hinayana sewaktu abad ke-Z M dan selanjutnya tersebar ke kawasan Asia tenggara.

Pada perkembangan Catawahana, sangat memperlihatkan aktivitas-aktivitas di bidang Maritim dan aliran Budha Hinayana melebarkan sayapnya ke Asia Tenggara dengan melalui perdagangan laut dan penyebaran terjadi pada abad ke-2 M, Dari berbagai penemuan-penemuan di alas, Salahuddin Mahmud seorang peneliti Mandar, menyimpulkan bahwa di daerah Kalumpang pernah terdapat sebuah kerajaan yang telah menjalani hubungan dengan daerah luar adapun pelabuhannya terdapat di Sekendeng, Hal tersebut di perkuat dengan memperhatikan letak muara sungai Karama yang berhadapan dengan muara sungai Mahakam di pulau Kalimantan, yang juga banyak di layari untuk memasuki daerah pedalaman Kalimantan. Adapun di hulu sungai Mahakam terdapat kerajaan Kutai yang sangat termasuk pada abad ke-4 M. Dengan demikian ke-rajaan di Kalumpang tersebut merupakan kerajaan yang tertua di daerah Mandar. Di duga kerajaan-kerajaan yang terdapat di Kalumpang berpindah ke pegunungan, tepatnya ke Toraja atau ke Luwu berhubungan dengan adanya invansi Militer dari luar atau adanya wabah penyakit yang menyerang daerah tersebut.

Perpindahan tersebut di buktikan dengan berlanjutnya desain dari corak ukiran yang tinggi nilai seninya yang masih di lanjutkan tradisinya oleh masyarakat Toraja dewasa ini. Sebagaimana cerita yang umum berkembang di masyarakat Indonesia mengenai asal usul nenek moyang mereka, di Mandar juga di kenal dengan orang yang turun dari kayangan yang akan memimpin manusia di muka bumi yang dikenal sebagai Tomanurung. Menjelmanya Tomanurung di atas muka bumi, menurut legenda dan mitos, adalah muncul dari belahan bambu (tobisse di tallang) ada juga turunan Bidadari yang tertawan di bumi karena di intip oleh pangeran yang kemudian menyembunyikan sayapnya. Selain itu ada juga Tomanurung yang menjelma dan meniti di atas buih aliran sungai (tokombong di bura) ada yang di hempaskan dari perut ikan hiu dan menjelma menjadi manusia (tonisesse di tingalor atau tobisse diare bau). Semua mitos-mitos tersebut di anggap keturunan pertama atau cikal bakal penguasa yang ada di daerah Mandar.

Adapun yang menyebabkan Zaman Tomanurung tidak di masukkan sebagai Salah satu periode dalam Zaman sejarah Mandar adalah karena Tomanurung itu sendiri masih tanda Tanya atau dengan kata lain adalah sebuah legenda dan mitos, walaupun cerita mengenai Tomanurung terdapat pula dalam beberapa lontar Mandar. Tetapi jika ada, maka Zaman Tomanurung di masukkan ke dalam periode Zaman Pra-sejarah dan di anggap berakhir pada waktu di mulainya pencatatan-pencatatan yang teratur dan berlanjut, atau ketika mulai berdirinya kerajaan-kerajaan di daerah tersebut (pitu ulunna salu anna pitu ba’ bana binanga), akan tetapi mitos dalam kegiatan kehidupan selanjutnya tetap berkembang dan menjadi sebuah kepercayaan dari akulturasi budaya Mandar dengan budaya Islam.

Zaman Tomakaka
Setelah Zaman pra sejarah berakhir, tampil masa kepemimpinan yang di sebut Tomakaka yang berasal dari keturunan Todipali yang tinggal menetap di Balanipa (waktu itu belum bernama Balanipa) dan Lamber Susu (Buah dada panjang) yang tinggal menetap di Kalumpang Mamuju keduanya adalah cucu Pangkopadang selaku cikal bakal orang Mandar. Todipali kemudian melahirkan Tomakaka yang diantaranya bernama Tomaka/fa Dilemo dan Tomakaka Dipoyosang , sedangkan Lamber Susu kemudian melahirkan 41 (empat puluh satu) Tomakaka yang kembali menyebar keberbagai penjuru dalam kawasan Mandar ,dan Tama/(aka adalah pimpinan persekutuan hukum yang timbul dan berdiri sendiri-sendiri pada zaman jauh sebelum adanya Todilaling. Yaitu mulai dari Tobanua posi' sampai kepada ayah Todilaling bergelar Puang di Gandang.

Pada umumnya Tomakaka bersifat local, belum dapat di ketahui dengan pasti kapan mulai munculnya, hanya dapat di duga yaitu belum Zaman Lagaligo. Dalam perkembangannya , Tomakaka berkembang khusus di daerah pantai yang kemudian hilang setelah tampilnya Mara’dia pertama di Balanipa , yaitu Imanyambungi yang kemudian bergelar Todilaling. Adapun di kerajaan pegunnungan, makaka terus berkembang. Tomakaka di bedakan atas:
1) tomakaka tomatindo, dapat di angkat menjadi adat (pattola); dan 2
) Tomakaka Barang (orang yang berada).
Sebenarnya arti perkataan tomakaka yang berasal dari kata Maka yaitu mampu atau berkemampuan dan dapat pula dikatakan sebagai yang di tuakan. di walupun wilayah Tomakaka itu kecil dan penduduknya yang sedikit , namun Tomakaka tetap mempunyai kedaulatan penuh ke dalam dan keluar. Kerajaan kuat kalau Tomakaka berani membela rakyatnya, Bijaksana, menyelesaikan persoalan-persoalan internal dan eksternal.

Tomakaka juga dapat disandang bagi mereka yang memiliki kesaktian dan kedigjayaan namun berbuat sewenang-wenang dan tidak dapat menjadi panutan dan oleh masyarakat berupaya untuk menyingkirkannya. Daerah pemerintah Tomakaka di pertahankan dengan perlindungan benteng dari batang-batang bambu yang tinggi untuk menghindari serangan-serangan dari daerah luar.

Menurut Bestuurmemorie yang di tulis oleh seorang asisten (Bupati) Residen Mandar, WJ Leydes menyatakan bahwa terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang di kepalai oleh seorang tomakaka. Tomakaka yang pertama bertempat tinggal di Ulu Sa’dang, menurut lontara Mohammad, bekas kepala Laumase, tetapi ia tidak menyebut nama Tomakaka tersebut. Lontara lain mengatakan bahwa nama Tomakaka pertama tersebut adalah Tomakaka Pullaomesa.

Setelah berkembang berbentuk Kerajaan kecil, Tomakaka tersebut masing-masing berdiri sendiri, berdaulat, dan saling menyerang dan yang paling terkenal adalah Tomakaka Passokkorang. Lokasinya berada di seputaran Sungai Maloso atau dekat Mambu sekarang (kecamatan Mapilli). Yang berhasil di bumi hanguskan oleh Tomepayung dan setelah hilangnya Tomakaka di Ba`bana Binanga yang digantikan oleh zaman Mara`dia yang selanjutnya merupakan babak baru dalam perkembangan sejarah di Mandar,hingga masuk pada Zaman Mara`dia (kerajaan)

Zaman Mara’dia

Setelah berakhirnya Zaman Tomakaka maka muncul bergelar Todilaling Imanyambungi sebagai Mara`dia (Raja) pertama di Balanipa yang kemudian dilanjutkan dengan putranya bernama Billa Billami bergelar Tomepayung yang menjadi pemrakarsa Zaman Mara’dia di Mandar yang tandai dengan tampilnya pemimpin yang disebut Mara’dia di Mandar yang terdiri dari Pitu Ba`bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu, dan adapun yang menjadi mara’dia pertama di Pilu Ba’bana Binanga adalah :
1. Imanyambungi yang kemudian bergelar Todilaling sebagai mara`dia (Raja) pertama di Balanipa dan di seluruh mandar jumlah di kerajaan Balanipa sampai dibentuknya negara kesatuan Republik Indonesia adalah 45 Raja dari 53 masa priode
2. Puatta Iku’bur yang menjadi Mara'dia pertama di kerajaan Sendana
3. Daeng Tammelanto yang menjadi Mara`dia pertama di Banggae
4. Puatta Ikaramang yang menjadi Mara’dia pertama d, Tappalang
5. Tomellake Bulawang yang menjadi mara`dia pertama d, Pamboang
6. Tammajinnang yang menjadi Mara’dia pertama di Mamuju
7. Appona Tokombong di Bura yang menjadi Mara’dia yang juga disebut Aruang pertama di Binuang

Sedangkan dari Pitu Ulunna Salu yang menjadi raja pertama namun tidak menggunakan kata atau gelar raja sebagai Mara`dia ,akan tetapi menggunakan istilah sesuai dengan dialek bahasa sebagai sub kelompok Ulu Salu atau Ulu Manda dari bahasa Mandar yang terdiri dari :
1, Nene' Tomampu alias Londo Dehata yang bergelar Indo Lembang raja pertama kerajaan Rantebulahan
Z. Mahimbang sebagai indo kadanene’ raja pertama kerajaan Aralle ‘
3. Tamming sebagai Bu`buanna Kadanene’ raja pertama dari bambang
4. Rambulangi sebagai talao rapanna kadanene’ indo lita' petaha mana' pa’isa parandangan raja pertama dari Tabulahan
5. Tala'bina sebagai lantang kadanene' raja pertama dari Mambi
6. Tajoang sebagai Andiri tangtempo’na kadanene` raja pertama dari Matangnga
7. Sabulima sebagai Bubunganna kadanene' raja pertama dari Tabang

Dengan hadirnya Raja-raja tersebut di atas yang berjumlah empat belas lalu ditambah dengan Raja-raja mara`dia) dari beberapa wilayah Otonom yang ada dalam masing-masing kerajaan yang mangakibatkan Zaman Tomakaka berangsur-angsur hilang, Lokasi makan Todilaling yang terdapat di Desa Napo (Lepuang).
www.armandar.blogspot.com

Sayyang Pattudu' (Kuda Menari) di Tanah Mandar

Tampil : 12236 kali.

Sayyang Pattudu' (Kuda Menari) di Tanah Mandar

CetakPDF


Melacak jejak Saeyyang Pattuqduq (Kuda Menari) Di Tanah Mandar
Oleh : Suryananda
Mahasiswa Fisip Unasman
Aktifis Lembaga Dakwa Kampus
Telah dimuat di Koran mandar edisi 13 tahun 1

Peran dan Fungsi Saeyyang Pattuqduq di Mandar

Penyelenggaraan tradisi saeyyang pattuqduq bagi orang Mandar lebih merupakan apresiasi positif masyarakat dalam hal ini orang tua anak yang telah khatam bacaan Qurannya. Kehadirannya lebih merupakan motivasi bahwa ketika anak tamat mengaji (sudah lancar membaca Al Quran dengan baik dan benar) maka kelak iak akan diarak keliling kampung dengan mengendarai kuda yang pintar menari (saeyyang pattuqduq). Ditilik dari kaidah pendidikan, keberadaan saeyyang pattuqduq ini merupakan hadiah (reward) bagi anak yang telah menyelesaikan pendidikan, khususnya dalam hal pendidikan keagamaan. Sebab pada saat anak diserahkan ke guru mengajinya, maka kelak ia akan dididik bukan hanya tata cara membaca Al Quran dengan baik dan benar, anak juga akan diajarkan pendidikan akhlak dan budi pekerti yang baik.

Dengan janji akan diarak berkeliling dengan menunggangi saeyyang pattuqduq anak-anak kelak akan rajin mengikuti pembelajaran di tempat mengajinya (TPA dan sejenisnya).dan tidak terlupakan makna filosofi Saeyyang Pattuqduq.

Seiring dengan perkembangan jaman, peran dan fungsi saeyyang patuuqduq juga mengalami perkembangan. Saeyyang pattuqduq tidak diperuntukkan bagi anak-anak yang sudah khatam Quran, bahkan lebih dari itu peran dan fungsinya bergeser. Tradisi ini juga sering diselenggarakan manakala ada tokoh (pejabat publik, elit politik) saat datang di tanah Balanipa Mandar dan penyambutan wisatawan asing yang dating di Mandar mereka di jemput dan diarak dengan saeyyang pattuqduq. Bahkan sudah menjadi agenda tahunan penyelenggaraan festival saeyyang pattuqduq di Kabupaten Polewali Mandar,Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamuju biasanya, para peserta terhimpun dari berbagai kampung yang ada di desa Daerah tersebut . Diantara para peserta ada yang datang khusus dari desa sebelah, bahkan ada juga yang datang dari luar Kabupaten, maupun luar Provinsi Sulawesi Barat

Rangkaian acara tahunan ini, Pada momentum ini biasanya melibatkan sekitar 20 sampai 100 kuda pattuqduq dan diikuti lebih dari ratusan peserta tiap tahunnya.Dampak positif dari kegiatan festival ini adalah bahwa para pemilik kuda yang pintar menari ini mendapatkan penghasilan tambahan, karena kuda pintar mereka dipersewakan dengan tarif yang lebih dari biasanya.

Memang duduk di atas saeyyang pattuqduq akan menakutkan dan melelahkan, tapi cukup menyenangkan bagi mereka yang baru pertama kali merasakannya (tidak terbiasa). oleh karenanya untuk menaiki punggung saeyyang pattuqduq, haruslah seseorang memiliki nyali yang besar, karena hail ini cukup menantang.

Pesta Adat Sayyang Pattudu

Kuda Pattuddu yang digunakan oleh orang yang akan merayakan khatamul quran tersebut di hiasi sedemikian rupa layaknya kuda tunggangan raja yang akan melakukan pesiar ke daerah kerajaan yang di kuasainya atau menghadiri undangan kerajaan tetangga. Begitu pula dengan orang yang menungganginya , diahiasi dengan menggunakan pakaian adat Mandar dengan menaungi payung kehormatan yang di sebut dengan istilah Lallang Totamma.

Untuk menggunakan kuda Patuddu ini tidaklah murah, seseorang yang berminat untuk khatamul qur’an dengan adat pattuddu harus merogoh kocehnya sedalam mungkin.sewa seekor kuda biasanya Rp 650 ribu.Biaya itu diluar perongkosan untuk membayar penabuh rebana yang setia mengiringi setiap langkah kuda kemana saja yang mencapai Rp.1,5 juta untuk satu grup yang berjumlah puluhan orang tersebut.sebab tanpa para penabuh Rebana ini kuda Pattuddu ini tidak akan menari, hanya berjalan biasa seperti layaknya kuda lainnya. Dana sebesar itu belumlah final dalam perongkosan untuk menggelar khatamul quran dengan menggunakan adat patuddu, sebab anggaran komsumsi pun mencapai puluhan juta sebab acara ini di gelar layaknya sebuah hajatan mriahnya sebuah pernikahan bahkan melebihi dari itu.

Tujuan dari pergelaran kuda Pattuddu ini adalah untk memberikan motivasi dan spirit kepada generasi muda untuk senantiasa mengamalkan dan mempelajari ayat ayat suci al quran dan menjadi salah satu implementasi bentuk syiar Islam pada zaman kerajaan. hanya saja kuda Pattuddu ini cuma di gelar oleh suku suku mandar yang menjadi mayoritas di sebuah perkampungan, sementara suku suku Mandar yang ada di perantauan sulit untuk mendatangkan kuda sebagai salah satu binatang utama dalam menggelar Kuda Pattuddu, sebab kuda ini tergolong istimewa yang hanya di gunakan pada saat ada pergelaran adat semacamnya, sementara jika pergelaran itu usai, ia hanya dipelihara tanpa di gunakan tenaganya.

Selain itu Pesta Adat Sayyang Pattudu di kenal istilah Tiriq” atau pohon telur yang diarak keliling Sayyang Pattudu (kuda menari), begitulah masyarakat suku Mandar, Sulawesi Barat menyebut acara yang diadakan dalam rangka untuk mensyukuri anak-anak yang khatam (tamat) Al-Qur‘an. Bagi warga suku Mandar, tamatnya anak-anak mereka membaca 30 juz Al-Quran merupakan sesuatu yang sangat istimewa, sehingga perlu disyukuri secara khusus dengan mengadakan pesta adat Sayyang Pattudu. Pesta ini biasanya digelar sekali dalam setahun, bertepatan dengan bulan Maulid/Rabi‘ul Awwal (kalender Hijriyah). Pesta tersebut menampilkan atraksi kuda berhias yang menari sembari ditunggangi anak-anak yang mengikuti acara tersebut.

Bagi masyarakat Mandar, khatam Al-Qur‘an dan acara adat Sayyang Pattudu memiliki pertalian erat antara satu dengan lainnya. Acara ini tetap mereka lestarikan dengan baik, bahkan masyarakat suku Mandar yang berdiam di luar Sulawesi Barat dengan sukarela akan kembali ke kampung halamannya demi mengikuti acara tersebut.


Ritual istimewa

Ritual istimewa bagi warga suku Mandar, suku yang lebih dari mayoritas mendiami Sulawesi Barat, khatam Al Quran adalah sesuatu yang sangat istimewa sehingga tamatnya membaca 30 juz Al Quran tersebut disyukuri secara khusus. Namun, tidak semua warga yang berdiam di Sulawesi Barat menggelar acara Sayyang Pattuddu`. "Bagi masyarakat Mandar, tamat membaca Al Quran adalah sesuatu yang penting sebelum memasuki bangku sekolah dasar. Makanya, sejak belia sudah belajar mengaji sejak usia lima tahun. Tidak butuh waktu lama, asalkan tekun, tidak sampai setahun, dia sudah tamat,"

Puncak acara khatam Al-Qur‘an dengan menggelar pesta adat Sayyang Pattudu ini memiliki daya tarik tersendiri dengan diramaikan arak-arakan kuda mengelilingi desa yang dikendarai oleh anak-anak yang telah menyelesaikan khatam Al Quran ini setiap anak mengendarai kuda yang sudah dihias sedemikian rupa. Kuda-kuda tersebut juga sudah terlatih untuk mengikuti irama pesta dan mampu berjalan sembari menari mengikuti iringan musik, tabuhan rebana, dan untaian pantun khas Mandar yang mengiringi arak-arakan tersebut.

Ketika duduk di atas kuda, para peserta yang ikut Sayyang Pattudu akan mengikuti tata atur baku yang berlaku secara turun temurun. Dalam Sayyang Pattudu, para peserta duduk dengan satu kaki ditekuk ke belakang, lutut menghadap ke depan, sementara satu kaki yang lainnya terlipat dengan lutut dihadapkan ke atas dan telapak kaki berpijak pada punggung kuda. Dengan posisi seperti itu, para peserta didampingi oleh Pesarung tadi agar keseimbangannya terpelihara ketika kuda yang ditunggangi menari. Peserta Sayyang Pattudu akan mengikuti irama liukan kuda yang menari dengan mengangkat setengah badannya ke atas sembari menggoyang-goyangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala agar tercipta gerakan yang harmonis dan menawan.Saat acara sedang berjalan meriah, tuan rumah dan kaum perempuan sibuk menyiapkan aneka hidangan dan kue-kue untuk dibagikan kepada para tamu. Ruang tamu dipenuhi dengan aneka hidangan yang tersaji di atas baki yang siap memanjakan selera para tamu yang datang pada acara tersebut.

.Pesta adat Sayyang Pattudu lebih biasanya diadakan di Desa Karama, kelurahan Tinambung,Kecamatan Tinambung,desa Pambusuang dan Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.Untuk mencapai lokasi, para wisatawan dapat menggunakan angkutan umum atau kendaraan pribadi. Untuk menuju lokasi, perjalanan dapat dimulai dari Bandara Tampa Padang yang terletak di Kota Mamuju. Dari bandara tersebut perjalanan kemudian dilanjutkan ke Kota Polewali Ibu Kota Kabupaten Poleweli Mandar, Sulawesi Barat dengan waktu tempuh 1 jam 30 menit. Setelah sampai di Kota Poleweli, kemudian perjalanan dilanjutkan ke lokasi yang berjarak sekitar 52 km dengan waktu tempuh sekitar 45 menit. Tidak di pungut biaya.

Di Desa Karama, tempat pesta adat ini dilaksanakan, belum ada hotel untuk menginap bagi para wisatawan yang datang dari luar daerah. Tapi tidak usah gundah, sebab masyarakat setempat membuka pintu rumah mereka bagi tamu yang datang ke daerah tersebut untuk menyaksikan pesta adat Sayyang Pattudu. Begitu juga untuk makanan, para wisatawan akan mendapatkan suguhan yang memuaskan dengan beraneka makanan yang disediakan oleh tuan rumah untuk menyambut tamu.


Asyiknya Prosesei Saeyyang Pattuqduq

Sejak pagi warga berduyun-duyun mendatangi masjid, membawa berbagai hantaran dalam sebuah balasuji (wadah berbentuk segi empat besar yang terbuat dari bambu). Isi balasuji beragam, di antaranya pisang, kelapa, gula merah, beras, dan kue-kue tradisional. Mereka yang sudah sampai di masjid kemudian berzikir dan membaca doa hingga menjelang siang. Saat zikir usai, isi balasuji dibagi-bagikan kepada warga sekitar. Tak jarang pula pemilik balasuji saling bertukar isi dengan pembawa balasuji lainnya.

Pada saat yang sama, di rumah-rumah warga, kaum perempuan sibuk menyiapkan aneka masakan dan kue-kue. Umumnya di rumah-rumah yang penghuninya menggelar acara khitan, ruang tamu disulap menjadi tempat makan lesehan dengan baki dan tatakan makan lainnya yang penuh berisi beragam jenis makanan dan kue-kue.

"Kalau sudah begini, siapa pun yang singgah wajib mencicipi hidangan yang disajikan. Bahkan biasanya dari desa lain pun ada yang datang menyaksikan acara ini dan mereka juga dipanggil naik ke atas rumah untuk makan. Jadi, biasanya kami memang menyiapkan cukup banyak makanan.

Kegembiraan dan keramaian tidak hanya berlangsung pagi hingga siang hari itu. Malam sebelumnya, rumah-rumah warga, yang putranyaputrinya mengikuti acara khatam, sudah diramaikan suara orang-orang yang membacakan ayat-ayat suci Al Quran, lagu-lagu kasidah, dan tetabuhan rebana. Alunan syahdu itu terdengar sejak waktu shalat isya hingga menjelang pagi.

Saat yang paling ditunggu-tunggu akhirnya tiba menjelang sore. Puncak acara ini ditandai dengan arak-arakan anak-anak yang tamat mengaji (khatam Al Quran) keliling desa. Anak-anak yang diarak masing-masing menunggangi kuda berhias.Kudanya pun bukan sembarangan. Kuda-kuda tunggangan itu mampu berjalan sembari menari. Kuda-kuda tersebut menari diiringi tabuhan rebana dan pembacaan pantun khas Mandar.

Tak pelak, kegembiraan warga tumpah ruah bersamaan dengan dimulainya arak-arakan. Di sepanjang jalan yang dilalui arak-arakan kuda, warga biasanya berdesak-desakan bahkan banyak di antaranya yang berjalan mengikuti arak-arakan. Biasanya, setiap kali kuda yang diunggulkan lewat, mereka akan bersorak-sorai mengelu-elukan kuda tersebut.

Sorak-sorai bertambah ramai bila tarian kuda cukup lama dan bagus. Memang di sela arak-arakan, kuda beberapa kali berhenti kemudian memain-mainkan kaki depannya secara bergantian sembari menggeleng-gelengkan kepala ke kiri dan kenan layaknya sedang menari.

Satu per satu kuda diatur berbaris di depan masjid. Di atas kuda duduk seorang pissawe (pendamping) yang mengenakan pakaian adat mandar lengkap. Lazimnya yang menjadi pissawe adalah perempuan. Tak mudah menjadi seorang pissawe karena butuh keseimbangan tubuh yang bagus.

Pasalnya, saat duduk di atas kuda, pissawe harus duduk dengan satu kaki ditekuk ke belakang dengan lutut mengarah ke depan dan satu kaki lainnya terlipat dengan lutut mengarah ke atas dan telapak kaki berpijak pada badan kuda. "Dengan model duduk seperti ini, keseimbangan harus betul-betul terjaga saat kuda yang ditunggangi menari dengan mengangkat setengah badannya ke atas sembari menggoyang - goyangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala. Walaupun ada yang membantu memegang kuda, tetapi kalau tidak kuat, bisa jatuh.

Di belakang pissawe duduk anak yang khatam mengaji atau yang disebut to tamma’tadi Yang perempuan mengenakan pakaian muslim dan penutup kepala, sedangkan anak laki-laki mengenakan baju gamis yang dilengkapi penutup kepala layaknya digunakan orang di Timur Tengah. Di samping kiri dan kanan kuda, empat orang memegang kuda. Mereka juga disebut pissarung.

Selain itu, ada pula seorang pakkaling da’ddaq`berdiri di bagian depan, tepat di sebelah kepala kuda. Pakkaling da’ddaq` adalah orang yang bertugas membaca pantun dalam bahasa mandar sepanjang arak-arakan dilakukan. Biasanya pantun yang diucapkan berisi kata atau kalimat yang lucu dan selalu disambut penonton dengan sahutan, teriakan, celetukan, atau tepukan tangan.

Di depan kuda ada pemain rebana yang berjumlah 6-12 orang. Kelompok ini terus memainkan rebana dengan irama tertentu sembari kerap berjingkrak-jingkrak, mengiring kuda menari. Pukulan rebana biasanya akan terhenti sejenak bila pakkaling dadda` mengucapkan pantun.

Dari situlah saya menyadari betapa kebangganku terhadap Negeri kelahiranku ini Balanipa Mandar sang mastero Nusantara kaya akan kebudayaan yang teramat khas substansinya namun yang di khwatirkan ialah kebudayan – kebudayaan Mandar jangan sampai menjadi Subyektifitas yang terlupakan oleh masyrakatnya sendiri.

Saeyyang Pattuqduq pada Festifal kebudayaan Se – Nusantara di Istana Merdeka Jakarta pada bulan Agustus 2008 silam pada momen memperingati hari kemerdekaan Indonesia, mengantar Sulawesi Barat sebagai provinsi termuda di Indonesia menjadi yang terbaik kemudian di susul secara berturut,kembali Sulbar di ajang yang sama di tahun 2009 lewat Perahu Sandeq (perahu tanpa mesin tercepat Nusantara) menjadi yang terbaik dari 33 provinsi yang ada di Indonesia.