Selasa, 30 Juli 2013

KH. Muhammad Saleh (Annangguru Saleh)

Annangguru Saleh, Kesederhanaan Membuatnya Abadi

Menjelang keberangkatan dua perahu tradisional Mandar menuju Jepang dalam rangka The Sea Great Journey, rencana ritual pelepasan mulai dibicarakan. Salah satunya adalah kehadiran panrita (tokoh/ulama) yang bisa memimpin upacara ritual. Nelayan mengusulkan beberapa nama panrita. Ada yang saya kenal, ada tidak. Karena pelayaran merupakan kegiatan besar, idealnya, panrita yang memimpin juga haruslah tokoh besar.

Saya usulkan anak almarhum K. H. Muhammad Saleh, tapi sang nelayan tidak tahu. Lalu saya bertanya, “Kenal Annangguru Saleh?” Para nelayan menjawab, “Tidak!”
Dalam hati saya tertawa pahit. Ironis! Ulama besar Mandar ini malah tak dikenal oleh orang Mandar.
Mungkin kejadian di atas hanya semacam kasus kecil, bukan kecenderungan umum. Sebab realitasnya, ada ribuan orang di Mandar mengenal KH. Muhammad Saleh. Mau lihat buktinya, datanglah malam ke-27 Ramadhan di Kampung Buku, Majene dan Pambusuang, Polman; datanglah pada acara haul-nya di Pambusuang yang diadakan setiap awal bulan April, ratusan orang merindukan kehadiran Annangguru Saleh.
Ketidaktahuan sang nelayan dan ratusan orang yang mengharapkan karamah, merupakan hal yang kontradiktif. Ya, KH Muhammad Saleh tidak harus terkenal, tapi setidaknya beliau dikenal. Minimal namanya pernah didengar. Satu tahun terakhir ini saya mengumpulkan beragam informasi dan dokumentasi tentang Annangguru Saleh dalam rangka pembuatan film dokumenternya. Tulisan dan film diharapkan dapat mendokumentasikan sepenggal cerita, sejarah hidup, karamah, dan ajaran beliau yang saat ini lebih banyak didengar secara lisan dan terbatas di kalangan tertentu. Sudah banyak bahan yang terkumpul, baik foto, rekaman suara dan informasi tentangnya, tapi rasanya ada hal yang kurang, untuk segera memulai penyuntingan filmnya.
Kyai Haji Muhammad Saleh, lazim dipanggil Annangguru Saleh adalah ulama besar di Mandar. Pengaruh ajarannya begitu membumi di daerah ini. Ia tidak meninggalkan situs-situs kemegahan, melainkan kesahajaan sebagai seorang manusia dan ulama Mandar yang patut diteladani.
Annagguru Saleh dan Imam Lapeo adalah dua ulama besar Mandar yang sampai saat ini belum ada yang menyamai kharisma dan pengaruh ajarannya. Paramaternya amat gampang: ulama (Mandar) ini yang fotonya dipasang oleh banyak orang di dinding rumah mereka. Kalau bukan foto Imam Lapeo, ya foto Annangguru Saleh. Entah mengapa foto Arung Palakka biasa disandingkan dengan foto ulama-ulama di atas, baik sebagai jimat di rumah maupun di dompet beberapa orang di Mandar. Uniknya, keduanya dilahirkan di Desa Pambusuang  (masuk wilayah Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat). Sebuah desa pesisir yang meski sekilas terlihat biasa-biasa saja, namun tempat ini adalah desa di Mandar yang paling banyak melahirkan tokoh yang melegenda. Selain dua ulama di atas, yang lain adalah Baharuddin Lopa dan Basri Hasanuddin.
Meski keduanya mempunyai peran yang sama sebagai penyebar ajaran Islam lewat jalan tarekat, penyebutannya berbeda. Lapeo disebut Imam atau sang pemimpin umat atau pemimpin shalat, sementara KH Muhammad Saleh disebut Annangguru. Saya menduga, mungkin karena Kyai Haji Muhammad Thahir sempat mendirikan masjid yang belakangan menjadi pusat kegiatan dakwahnya, yaitu Masjid Lapeo. Untuk kemudian, Kyai Haji Muhammad Tahir menjadi imam di sana.
Masjid Lapeo salah satu icon Mandar dalam bidang religi, sebab di masjid ini terdapat menara tertua di Mandar (terlihat di sisi kanan jalan trans Sulawesi di Desa Lapeo, Kecamatan Campalagian). Adapun Kyai Haji Muhammad Saleh, sepengetahuan saya, tidak pernah membangun masjid khusus yang dijadikan sebagai pusat dakwah.
Memang ada Masjid K. H. Muhammad Saleh di Pambusuang yang letaknya persis di belakang masjid terdapat makam beliau. Tapi masjid ini dibangun kurang lebih tiga tahun setelah ia wafat. Demikian juga dengan situs kampung Bukk yang terkenal sebagai tempat beribadah Jamaah Qadiriyah setiap 27 Ramadhan. Tempat ini identik dengan Annangguru Saleh, tapi tidak menjadi pusat dakwah sebagaimana Masjid Lapeo.
Penambahan istilah Annangguru di depan namanya disebabkan K. H. Muhammad Saleh lebih banyak menggunakan metode pengajaran yang tidak berpusat di satu tempat, melainkan dari rumah ke rumah jamaahnya di seantero Mandar, khususnya di beberapa kampung di pesisir Teluk Mandar. Tarekat Qadiriah.
Lantas, apakah perbedaan gelar di atas dipengaruhi pada perbedaan tarekat yang mereka anut dan ajarkan ke masyarakat Mandar? Menurut kajian dari beberapa referensi dan informasi serta wawancara, disebutkan Imam Lapeo menganut Tarekat Khalwatiah, sedangkan Annangguru Saleh Tarekat Qadiriah. Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas perbedaan dua tarekat ini, tapi akan menuliskan secara singkat tentang Tarekat Qadiriah saja.
Proses khalwat yang sering dilakukan Nabi Muhammad SAW, yang kemudian disebut tarekat, diajarkan kepada Sayyidina Ali ra. Dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga tarekatnya dinamai Qadiriah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad SAW, dari Malaikat Jibril dan dari Allah SWT.
Tarekat Qadiriah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di padang pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam.
Tokoh ini memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin keturunannya sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qadiriah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Suriah yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-16 untuk kemudian berkembang pesat pada abad ke-19, terutama di masa penjajahan.
KH. Muhammad Saleh dikenal sebagai salah seorang pionir ulama yang membawa, mengajarkan, dan mengembangkan Tarekat Qadiriah di Mandar. Beliau lahir pada tahun 1913 di Pambusuang. Pendidikan keagamaan di masa kecil-remaja banyak didapatkan dari para Sayye’ (keturunan Nabi Muhammad SAW) yang banyak terdapat di Pambusuang, khususnya pengajian kitab kuning.
Pada usia 15 tahun ia ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Setelahnya, ia tidak langsung balik ke Mandar, melainkan belajar agama di Madrasah al-Falah. Setelah lima tahun menuntut ilmu, Muhammad Saleh mendapat kepercayaan untuk mengajar di Masjid Haram, suatu presetasi tersendiri bagi santri yang berasal dari luar Arab Guru-guru di Mekkah yang memberi banyak ilmu kepada Muhammad Saleh tentang Al Quran, hadist, lugah, fiqih, dan tasawuf antara lain, Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh Umar Hamdan, dan Sayyid Muhammad al-Idrus, Syekh Hasan al-Masysyat.
Setelah mendalami ilmu di Arab, Muhammad Saleh kembali ke Mandar. Beberapa saat setelah tiba di Mandar, atas saran K. H. Ambo Dalle (Anregurutta Ambo Dalle), beliau menikah dengan Hj. St. Salehah binti Lomma. Karena alasan tertentu, Muhammad Saleh bercerai untuk kemudian menikah dengan Hj. Harah. Dari isteri kedua, beliau mulai mendapat keturunan.
KH. Muhammad Saleh menikah beberapa kali sesuai dengan ramalan gurunya Syekh Alwi al-Maliki. Dari isteri terakhir, Hj. Mulia Sule (masih hidup saat ini, meski tidak aktif mengajarkan tarekat dipanggil dengan sebutan Annangguru Tobaine yang artinya guru perempuan), Annangguru Saleh mendapat banyak keturunan.
Salah satunya K. H. Ilham Saleh, yang melanjutkan ajaran Tarekat Qadiriah saat ini di tanah Mandar. Setiap akhir Ramadhan, ada tradisi ibadah yang selalu ditunggu-tunggu umat Islam penganut Tarekat Qadiriah di Mandar, yaitu “Assambayang bukku”. Sewaktu kecil, saya mengira kata “Bukku” berasal dari kata bungkuk (bahasa Indonesia), sebab prosesi shalat-shalat sunat yang dilakukan sampai puluhan rakaat. Oleh sebagian orang yang jarang melakukan shalat sunnah berakaat-rakaat akan menyebabkan sakit punggung. Ternyata salah.
Bukku berasal dari kata Bukku (Buku), nama kampung yang terletak di punggung bukit Salabose, tak jauh dari kota Majene. “Assambayang (di) Bukku” mulai diperkenalkan Annangguru Saleh pada tahun 1966. Tradisi dilatarbelakangi pembicaraan K. H. Muhammad Saleh dengan murid-muridnya, bahwa dibutuhkan tempat yang lebih luas untuk menampung jamaah shalat 27 Ramadhan, yang sebelumnya dilaksanakan dari rumah ke rumah pengikut KH. Muhammad Saleh.
Belakangan, sejak tahun 2007, tradisi ini pindah ke Pambusuang, tepat di kompleks masjid dan makam Kyai Haji Muhammad Saleh. Entahlah, istilah apa yang akan digunakan untuk menggantikan istilah “Assambayang bukku”. Yang jelas, kalau pakai istilah “Assambayang Pambusuang”, agak ganjil kedengaran.
Menurut KH. Ilham Saleh, pemindahan (sebenarnya kurang tepat menggunakan istilah pindah sebab ritual menjalankan beberapa shalat sunnah di malam 27 Ramadhan masih berlangsung, setidaknya Ramadhan 2008 lalu) bertujuan lebih mendekatkan penganut Tarekat Qadiriah dengan (makam) K.H. Muhammad Saleh.
Shalat 27 Ramadhan di kompleks makam K.H. Muhammad Saleh, Pambusuang yang berlangsung 2008 lalu diikuti ratusan jamaah. Masjid yang terdapat di kaki bukit yang menghadap ke Teluk Mandar tak mampu menampung, untuk itu, di sekitar masjid banyak terdapat saf-saf jamaah.
Ritual, yang kebanyakan berisi kegiatan shalat-shalat sunnah, dipimpin langsung KH. Ilham Saleh. Pengaruh Tarekat Qadiriah di Mandar cukup besar. Beberapa tokoh masyarakat, pengusaha, dan pejabat di eksekutif dan legislatif adalah pengikut ajaran ini, minimal sebagai pendukung ajaran. Itu tercermin dari peran serta mereka dalam setiap aktivitas besar yang diadakan Jamaah Tarekat Qadiriah (shalat 27 Ramadhan dan haul), baik dukungan moril (menghadiri acara) maupun materiil.
Dalam kehidupan sehari-hari, tak ada perbedaan mencolok praktek beribadah Islam antara penganut ajaran K. H. Muhammad Saleh dengan yang bukan. Pada dasarnya sama saja. Mulai dari pelaksanaan ibadah wajib sampai ibadah sunnah. Perbedaan baru akan terlihat bila memasuki pembicaraan tentang masalah tarekat, khususnya praktek-praktek yang dianjurkannya. Untuk hal ini, ada pro-kontra terhadap ajaran Tarekat Qadiriah.
Bentuk penyebaran, pengembangan dan pelestarian ajaran, dulunya, dilaksanakan langsung oleh K.H. Muhammad Saleh dibantu beberapa murid kepercayaannya, salah satunya (almarhum) K.H. Sahabuddin (pendiri Universitas Al Asyariah Mandar (Unasman). Selain oleh KH. Ilham Saleh, pengajaran tarekat juga dilakukan oleh salah satu anak K.H. Sahabuddin, yaitu K.H. Syibli Sahabuddin (rektor Unasman yang juga calon DPD Sulawesi Barat yang mendulang suara terbanyak di pemilihan baru-baru ini). Pelanjut tarekat yang ada dua orang sedikit banyak menimbulkan perkubuan di masyarakat.
Annangguru Saleh diundang oleh murid atau jamaahnya yang tinggal di beberapa kampung. Pelaksanaan pemberian ajaran biasanya dilakukan di rumah yang punya hajatan, yang juga merupakan penganut ajaran tarekat. Berbekal semacam kitab, sang guru membacakan apa yang di dalam kitab untuk kemudian menjelaskan makna-maknanya.
Berbeda dengan keadaan sekarang, untuk mendatangi sebuah kampung, K.H. Muhammad Saleh masih menggunakan kendaraan tradisional, yaitu dokar. Jika bisa dilalui motor, sang guru dibonceng oleh muridnya, sebagaimana yang dilakoni H. Murad, wiraswasta yang tinggal tak jauh dari pasar ikan Tinambung, yang biasa membonceng gurunya ke beberapa kampung jika ada undangan.
Menurut H. Murad, kehidupan dan sikap KH. Muhammad Saleh amat bersahaja. H. Murad mengenal sang guru di suatu masjid di Polewali. Saat itu, sang ulama besar tidak berada di tempat-tempat VIP di dalam masjid (dekat mimbar), melainkan di bagian belakang, di bawah beduk. Itu amat mengesankan H. Murad, betapa bersahajanya KH. Muhammad Saleh.
Rumah pribadi K. H. Muhammad Saleh terdapat di pusat kota Majene. Tapi kampung halamannya ada di Pambusuang, yang mana sebagian besar kerabatnya berada di sana. K. H. Muhammad Saleh tinggal di Majene disebabkan beliau adalah pegawai negeri di Mahkamah Syariah Majene.
Sebelumnya, ia pernah bekerja sebagai syara’ di majelis pertimbangan dan naib di Balanipa, qadhi di Mamuju, dan Kepala Urusan Agama di Pambusuang, selain sebagai guru pesantren (1942-1950).

Karamah atau kesaktian

Cerita-cerita karamah bukan hal aneh bila kita mendengar atau membaca kisah hidup para sufi. Karena K. H. Muhammad Saleh juga seorang sufi, maka cerita karamah juga bisa ditemui. Sewaktu bekerja di Mamuju, tepatnya di saat membaca khutbah di salah satu masjid di Tappalang, K.H. Muhammad Saleh dikirimi ilmu hitam. Namun berkat kekaramahannya, ilmu sihir yang berwujud cahaya bola api tidak mengenai dirinya. Belakangan, penyihir yang melakukannya meminta maaf. Masih di Tappalang, ia juga pernah hendak diracun dengan ilmu hitam. Nasi yang dihidangkan kepadanya berubah wujud menjadi ulat dan ular. Tapi muslihat itu tak mempan untuk mencelakai dirinya.
Lalu, di masa “Gurilla” (gerilyawan), ketika penculikan marak terjadi, KH. Muhammad Saleh juga dapat menghindar dari kepungan kaum pengacau yang hendak menangkapnya. Saat itu ia akan balik dari Tomadio menuju Pambusuang. Kepada murid dan kusir dokar, sang guru berpesan agar mereka diam saja. Insya Allah mereka tidak akan terlihat oleh para pengepung. Itu betul terjadi, dokar yang ditumpangi KH. Muhammad Saleh tak terlihat dan mereka pun lolos dari penangkapan.
Ketertarikan terhadap dunia sufi berasal dari pengajian yang diikuti Muhammad Saleh di bawah asuhan Syekh Muhammad al-Idrus. Salah satu praktek ritual yang dilakukan adalah penyucian diri di salah satu gua di kaki bukit Jabal Qubais. Setelah mendalami ilmu kesufian dan menjalani penderitaan di Arab Saudi (salah satunya disebabkan pengaruh Perang Dunia ke-II), menjelang usia 30 tahun, Muhammad Saleh kembali ke Mandar.
Perjalanan ke Nusantara tidak semudah saat sekarang. Dengan menggunakan kapal laut, Muhammad Saleh menuju Sumatra. Di tempat ini Ia bertemu salah seorang kerabatnya yang menuntut ilmu di sana untuk kemudian berlayar ke Sulawesi Selatan. Di salah satu kota niaga di Sulawesi Selatan, Muhammad Saleh dijemput kerabatnya untuk kemudian menuju Pambusuang.
Layaknya anak muda yang merantau dan menuntut ilmu di negeri orang, fisiknya kurus, wajahnya pucat. Barang bawaannya pun tidak seberapa, hanya sebuah bantal dan satu kopor yang berisi tiga kitab pemberian gurunya di Mekkah yang menemaninya tiba di Mandar.
Beliau juga seorang manusia biasa. Perokok, suka menonton film-film “Sepaiî (berasal dari kata ‘spy’ yang berarti dunia spionase/inteljien), suka minum kopi susu, selalu menyelipkan ungkapan-cerita humor dalam ceramahnya, dan senang berekreasi. Di masa muda; di masa ia menuntut ilmu, perjuangan hidupnya amatlah berat. Mungkin itu yang membuat seorang Muhammad Saleh menjadi seorang annangguru bersahaja yang disegani, dihormati, dicintai, dikenang, dan dirindukan oleh banyak orang, baik yang bersinggungan langsung maupun yang hanya mengenal beliau dari ajarannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar